Senin, 08 September 2008

Membangun Ekowisata Jabar

Posted on June 23, 2007.

Oleh H. SOEWARNO DARSOPRAJITNO

INDONESIA, khususnya Jawa Barat memiliki sumber daya hayati dan nonhayati luar biasa besarnya. Sumber daya hayati tersebut sudah dieksploitasi sejak tahun 1823 atas perintah otoriter Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Der Cappelen untuk mencari dana guna menutup hutang Pemerintah Belanda yang besarnya sekitar 600 juta gulden. Eksploitasi sumber daya hayati tersebut diawali dengan perambahan berbagai hasil hutan di Jawa Barat, hingga dalam waktu relatif singkat berhasil mengumpulkan dana lebih dari 900 juta gulden. Perambahan hutan tropis secara et random di Jawa Barat, kemudian diteruskan dengan mengembangkan berbagai perkebunan tanaman industri seperti teh, karet, kina, cokelat, kopi, kelapa sawit, dan beberapa lagi lainnya. Jawa Barat dengan perbukitannya memang subur untuk perkebunan, sedang dataran pantura subur untuk pertanian. Akibat perambahan hutan secara et random di Jawa Barat, khususnya di kawasan pegunungan yang juga berfungsi sebagai daerah tangkapan hujan dan mata air sungai-sungai, maka berbagai dampak negatif ikut berkembang hingga sekarang.Dampak negatif tersebut antara lain meningkatnya erosi, rusaknya daerah tangkapan hujan, terjadinya genangan banjir di berbagai kawasan sepanjang alirannya, timbulnya angin taufan puting beliung, dan lebih parah lagi berakibat menurunnya sikap peduli pada tata lingkungan hidupnya. Mungkin semuanya itu juga disebabkan oleh sikap hidup yang someah hade ka semah masyarakat Jawa Barat yang dimanfaatkan Pemerintah Kolonial Belanda untuk merusak perilaku budayanya. Hal tersebut tidak terjadi di daerah lain, misalnya di Jawa Tengah yang dengan pimpinan Pangeran Diponegoro memberontak terhadap kebijakan Gubernur Jenderal Van Der Cappelen.

Sekalipun demikian sumber daya hayati dan nonhayati masih tersedia dengan luar biasa, namun sampai sekarang tampaknya belum memperoleh pengelolaan yang berhasil guna. Padahal berbagai sarana teknik yang mendukungnya masih ada, tetapi sayang sekali belum tersentuh kepedulian. Dari sekian banyak sumber daya nonhayati dan hayati yang tersebar luas di Jawa Barat, yaitu sumber daya yang memiliki nilai sosial, ekonomi dan budaya, serta dapat dikembangkan untuk kepariwisataan. Melalui organisasi dan manajemen yang tepat guna, kegiatan kerja kepariwisataan dapat dibina menjadi industri multi-dimensional yang dapat membuka berbagai lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan sekaligus dapat mencerdaskan kehidupan manusia.

Perlu sekali dimaklumi bahwa kegiatan kerja kepariwisataan, inti sarinya menjual daya tarik berupa keunikan penampilan bentuk alam dan atau hasil rekayasa budaya manusia yang memiliki latar belakang sejarah dan berfungsi rekreaktif bagi kehidupan manusia baik pendidikan, penelitian, maupun kepariwisataan. Apa pun yang laku dijual tidak akan mengurangi kualitas dan atau kuantitasnya, hingga tidak akan merugi apalagi jika yang dijual berupa daya tarik wisata ekologi, sebab daya tarik wisata ekologi umumnya tidak perlu dibina menjadi objek wisata yang memerlukan organisasi dan manajemen yang rumit. Di Jawa Barat masih memiliki sumber daya wisata alam dan budaya yang cukup luas sebarannya dan sebagian besar di antaranya tinggal membenahi dengan ekonomi biaya rendah, dan semuanya sudah dipromosikan sejak tahun 1913 oleh biro perjalanan swasta Hindia Belanda.

Tata lingkungan

Baik buruk suatu objek dan daya tarik wisata (ODTW) ditentukan pula oleh tata lingkungannya, baik alam maupun binaan manusia. Jawa Barat merupakan daerah tropis yang berudara amat karakteristik sebab selain hangat juga lembab. Udara khas tropis inilah yang didambakan para wisatawan mancanegara dari daerah yang beriklim aride yaitu dingin dan kering. Justru wisatawan mancanegara dari daerah beriklim aride inilah yang perlu dirangsang untuk berwisata di Jawa Barat, dan Kota Bandung dapat dibina sebagai terminal wisatanya yang juga berfungsi sebagai distributor wisatawan.

Namun sayang sekali bahwa masih banyak insan pariswata dan demikian pula para pejabat pemda, belum peduli pada masalah tata lingkungan khas tropis seperti Jawa Barat yang memiliki fisiografi yang indah. Dalam hal ini memang perlu mengenal ilmu pengetahuan geografi pariwisata yang mempelajari geologi, meteorologi, hidrologi, biologi, sosiologi, dan antropologi masyarakatnya.

Seperti disebutkan di awal tulisan ini, melalui kegiatan kepariwisataan dapat ikut memelihara mutu dan keseimbangan alam agar tidak menimbulkan gejolak dan dampak yang dapat menyebabkan terjadinya bencana. Selain itu, dengan kegiatan kerja kepariwisataan dapat digunakan untuk membuka atau memperluas berbagai lapangan kerja, meningkatkan pendapatan daerah, negara, dan masyarakat setempat. Demikian pula dengan unsur budaya dapat digunakan untuk meningkatkan pengertian masyarakat akan tata lingkungan sebagai lapangan perburuan nafkah bagi kehidupan sehari-harinya. Kalau semuanya ini terwujud, maka kecintaan kepada tata lingkungannya akan tumbuh berkembang, dan sekaligus dapat mengurangi atau mencegah terjadinya pengangguran.

Sayang sekali dalam beberapa pertemuan pembahasan rencana induk pengembangan pariwisata daerah Provinsi Jawa Barat dan juga Kota Bandung atau kabupaten masalah tata lingkungan yang erat dengan kegiatan kepariwisataan tampaknya terabaikan. Padahal hadirnya para wisatawan justru dapat dikendalikan oleh kualitas dan kuantitas tata lingkungan yang secara alami berpengaruh besar pada para wisatawan. Oleh sebab itu, nyaman dan amannya suatu ODTW amat bergantung pada tataan alam dan atau budaya manusia yang ikut mengendalikannya.

Mengingat bahwa Jawa Barat terletak di daerah tropis dan subur tanahnya, maka pembinaan dan pemeliharaan tata lingkungan tidak sulit diwujudkan. Sebab selain tata alamnya masih mendukung, perilaku budaya masyarakatnya yang masih berperilaku akomodatif mudah menerima berbagai kegiatan kerja pembangunan, khususnya kegiatan kerja kepariwisataan yang multi-dimensional.

Keindahan fisiografi

Jawa Barat yang terletak di daerah tropis dengan fisiogrfi medan yang demikian indah, tidak ada duanya di dunia. Berbagai bentukan alam yang memiliki keunikan penampilan, telah mengilhami masyarakatnya dengan perilaku budaya dan hasil rekayasa yang memesona seperti bangunan geometri Lebak Sibedug yang begitu mengagumkan. Semuanya ini masih ada sampai sekarang, namun sayang sekali belum memperoleh sentuhan ilmu dan teknologi parisawata untuk dibina sebagai sumber daya sosial, ekonomi, dan budaya untuk membangun manusia seutuhnya dan mencerdaskan kehidupannya.

Fisiografi Jawa Barat (termasuk Banten) yang memiliki kawasan berpegunungan dengan berbagai puncak gunungan aktif, dan dataran pantai di utara dan selatan, merupakan bentukan alam yang indah dan memiliki nilai kepariwisataan yang secara langsung dapat dimanfaatkan. Semuanya dengan mudah dapat diinventarisasi kualitas dan kuantitasnya, dan kemudian didesain untuk kepariwisataan. Sementara itu, berbagai sarana penunjang seperti jaringan transportasi, restorasi, dan akomodasi sudah tersedia, hingga tinggal membenahi unsur alam dan budaya untuk konservasi.

Sarana tersebut memang diperlukan oleh setiap ODTW jika akan dibina menjadi destinasi wisata, termasuk kegiatan konservasi dan promosi. Masyarakat Jawa Barat yang didominasi etnik Sunda, sampai sekarang masih memiliki perilaku akomodatif, apresiatif, dan toleran, yang jika dibina sesuai kearifan nenek moyangnya dapat menjadi sumber daya pembangunan yang handal.

Generasi baru masyarakat Jawa Barat sekarang ini juga memiliki kehandalan mental dan fisik untuk pembangunan kepariwisataan seperti halnya kehandalan semangat Divisi Siliwangi yang sejak 1945 masih terasa hingga sekarang. Hal ini dapat bertumpu pada moto “Siliwangi adalah rakyat Jawa Barat dan rakyat Jawa Barat adalah Siliwangi”, untuk mencintai dan membangun Jawa Barat melalui kegiatan kerja kepariwisataan.

Melalui kegiatan kerja kepariwisataan ini pun Jawa Barat dapat dibina menjadi provinsi termaju pada tahun 2010 walaupun untuk mencapai tahun tersebut di atas tinggal tiga tahunan. Tetapi semuanya ini memerlukan kegiatan kerja secara sistematik dengan memahami betul akan potensi sumber daya Jawa Barat, termasuk para cendekiawan atau para akademis yang jumlahnya, baik kualitas maupun kuantitas cukup melimpah. Sitematika kerja tersebut perlu dilaksanakan dengan jujur, ikhlas, dan tawaduk, demi kesejahteraan hidup masyarakat Jawa Barat secara berkesinambungan.

Artkel terkait silahkan Klik: Ekowisata, harapan dan tantangan.

Penulis, ahli geologi wisata ekologi, Ketua DPD Perhimpunan Objek Wisata.

Sumber: Pikiran Rakyat, Jumat, 15 Juni 2007

Tidak ada komentar: