Selasa, 09 September 2008

Penerapan Konsep Ekowisata pada Taman Nasional Gede-Pangrango

Penerapan Konsep Ekowisata pada Taman Nasional Gede-Pangrango
by Nadia Astriani

I. PENDAHULUAN

Pengelolaan lingkungan hidup menurut Undang-undang no 23 tahun 1997 adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, emanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Bagi manusia, pengelolaan lingkungan bukanlah hal yang baru, karena pengelolaan tersebut dilakukan untuk memelihara mutu lingkungan agar kebutuhan dasarnya dapat terpenuhi dengan baik. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan dasarnya adalah dengan memanfaatkan hewan dan tumbuhan dalam lingkungannya.

Pada mulanya, manusia hanya memanfaatkan hewan dan tumbuhan yang ada di sekitar lingkungannya dengan cara berburu, memungut dan meramu. Dengan demikian, hanya sebagian flora dan fauna yang diambil dan dimanfaatkan oleh manusia dibandingkan dengan jumlah yang sedemikian banyak. Melalui interaksi perilaku manusia yang bijaksana, sumber daya salam itu secara terus menerus memberikan manfaat. Penyeleksian dan pemeliharaan flora dan fauna pun semakin berkembang sehingga akhirnya munculah sistem pertanian ladang berpindah, pertanian menetap dan sawah.

Dalam setiap tahapan perkembangan cara hidup, manusia tetap tidak dapat melepaskan ketergantungannya pada lingkungan. Tumbuhan dan hewan dipelihara, dibudidayakan bahkan dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini kemudian membahayakan bagi kelangsungan hidup berbagai jenis hewan dan tumbuhan di Indonesia. Banyak jenis tanaman dan hewan yang saat ini sulit ditemukan terutama dengan semakin meluasnya daerah pemukiman penduduk yang menggusur habitat asli hewan dan tumbuhan tersebut.
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanearagaman hayati tertinggi di dunia, bahkan dikenal sebagai megabiodiversity. Kenakeragaman hayati ini merupakan salah satu modal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, karena bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal. Pemanfaatan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia bukan saja berguna bagi bangsa Indonesia tetapi juga untuk dunia. Tetapi pemanfaatan tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan bijaksana sehingga tidak merusak keanekaragaman hayati yang ada.
Untuk menjaga keanekaragaman hayati ini dilakukanlah pencagaralaman (konservasi).

Pencagaralaman menurut strategi pencagaran sedunia mempunyai tujuan :

1. Memelihara proses ekologi yang esensial bagi system pendukung kehidupan
2. Mempertahankan keanekaan gen
3. Menjamin pemanfaatan jenis dan ekosistem secara berkelanjutan

Ketiga tujuan itu saling berkaitan. Tujuan ketiga menyatakan secara eksplisit, pencagaran tidak berlawanan dengan pemanfaatan jenis dan ekosistem. Tetapi pemanfaatan itu haruslah dilakukan dengan cara yang menjamin adanya kesinambungan, yang berarti kepunahan jenis dan kerusakan ekosisten tidak boleh terjadi. Dengan terjaganya keanekaan jenis dan tidak rusaknya ekosistem, proses ekologi yang esensial dalam system pendukung kehidupan akan dapat terpelihara pula.

Secara umum, bentuk konservasi alam dapat dibedakan atas dua golongan besar, yaitu (a) konservasi spesies di dalam habitat aslinya (konservasi in-situ) dan (b) konservasi spesies di luar habitat aslinya (konservasi ex-situ). Konservasi in-situ dilakukan untuk konservasi keanekaragaman jenis dan genetik di daerah yang dilindungi. Konservasi ex-situ adalah konservasi keanekaragaman jenis dan genetik yang dilakukan di kebun raya, arboretum, kebun binatang, taman safari serta tempat khusus penyimpanan benih dan sperma satwa.
Di era pembangunan, segala macam sumber daya ingin dimanfaatkan sehingga tekanan agar cagar alam diikutsertakan dalam pembangunan semakin besar. Untuk itulah digunakan konsep taman nasional. Pada prinsipnya taman nasional sama dengan cagar alam, tetapi didalamnya dapat dilakukan kegiatan pembangunan yang tidak bertentangan dengan tujuan pencagaralaman. Kegiatan itu antara lain; pariwisata, penelitian dan pendidikan.

Makalah ini akan menitik beratkan pada pemanfaatan taman nasional bagi pariwisata sebagai perwujudan konsep eko-wisata, dengan Taman Nasional Gede-Pangrango sebagai contoh kasus. Diharapkan melalui makalah ini akan ditemukan permasalahan apa saja yang terjadi dalam penerapan ekowisata di Taman Nasional Gede-Pangrango, sehingga dapat menjadi pembelajaran bagi pengelola kawasan-kawasan eko-wisata lainnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Pariwisata dan konsep Ekowisata

Pariwisata adalah industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik-buruknya lingkungan. Tanpa lingkungan yang baik, tidak mungkin pariwisata berkembang dengan baik karena dalam industri pariwisata, lingkungan itulah yang yang sebenarnya dijual sehingga mutu lingkungan harus diperhatikan. Di dalam pengembangan pariwisata, asas pengelolaan lingkungan untuk melestarikan kemampuan lingkungan untuk mendukung pembangunan yang terlanjutkan bukanlah merupakan hal yang abstrak, melainkan benar-benar konkrit dan sering mempunyai efek jangka pendek.

Setiap daerah memiliki kemampuan tertentu untuk menerima wisatawan, hal ini disebut daya dukung lingkungan, Daya dukung lingkungan pariwisata dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu tujuan wisatawan dan faktor lingkungan biofisik lokasi pariwisata.
Tujuan pariwisata adalah untuk mendapatkan rekreasi, bukan hanya dalam bentuk senang-senang, tapi lebih untuk menciptakan kembali kekuatan dirinya secara fisik dan spiritual. Rekreasi dilakukan di luar tugas pekerjaan untuk mendapatkan hiburan. Hiburan inilah yang merupakan factor utama dalam penciptaan kembali diri seseorang. Setiap wisatawan tentu memiliki harapan untuk mencapai tujuan tersebut yang akan menciptakan kondisi psikologis tertentu yang berkaitan erat dengan daya dukung lingkungan. Perencanaan pariwisata harus memperhatikan daya dukung berdasar atas tujuan pariwisata.

Faktor biofisik yang mempengaruhi kuat atau rapuhnya suatu ekosistem akan sangat menentukan besar kecilnya daya dukung tempat wisata tersebut. Ekosistem yang kuat mempunyai daya dukung yang tinggi, yaitu dapat menerima wisatawan dalam jumlah yang besar karena tidak mudah rusak dan cepat pulih dari kerusakan. Sebaliknya ekosistem yang rapuh memiliki daya dukung yang rendah. Faktor biotik yang mempengaruhi daya dukung lingkungan bukan hanya faktor alamiah, tetapi juga faktor buatan manusia. Misalnya, adanya perkampungan penduduk dekat daerah pariwisata, menambah limbah yang masuk ke dalam kawasan wisata.

Selain kedua hal tersebut sarana pariwisata beserta kemampuan lingkungan untuk mendukung sarana tersebut juga merupakan faktor dalam penentuan daya dukung lingkungan.
Pengertian ekowisata berakar dari pengertian ecotourism. Menurut wikipedia, ekowisata adalah salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya, ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan. Ekowisata dapat dipahami sebagai “perjalanan yang disengaja ke kawasan-kawasan alamiah untuk memahami budaya dan sejarah lingkungan tersebut sambil menjaga agar keutuhan kawasan tidak berubah dan menghasilkan peluang untuk pendapatan masyarakat sekitarnya sehingga mereka merasakan manfaat dari upaya pelestarian sumber daya alam ”.

Simposium Ekowisata di Bogor pada 16-17 Januari 1996, mengeluarkan rumusan mengenai ekowisata sebagai “Penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan/atau daerah-daerah yang dibuat dengan kaidah alam, yang mendukung berbagai upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Terdapat lima pedoman yang harus diataati dalam mengelola ekowisata, yaitu:
Aspek pendidikan (education)
Aspek pembelaan (advocacy)
Aspek pengawasan (monitoring)
Aspek keterlibatan komunitas setempat (community involvement)
Aspek konservasi (conservation)

Konsep ekowisata menuntut keterlibatan masyarakat di sekitar kawasan yang akan dijadikan tempat ekowisata. Adapun isu-isu yang harus diperhatikan dalam ekowisata berbasiskan masyarakat antara lain:Pertisipasi. Selayaknya, ekowisata melibatkan seluruh masyarakat yang tinggal di kawasan wisata. Namun seringkali partisipasi masyarakat terhambat oleh masalah afiliasi politik, kepemilikan tanah, kekeluargaan, gender dan terkadang pendidikan.Gender. Kesetaraan pria-wanita sebaiknya diutamakan dalam proyek-proyek yang berbasiskan masyarakat, meski pada kenyataannya sulit dicapai sepenuhnya. Pengelola ekowisata harus mengupayakan akses untuk berpartisipasi yang terbuka untuk kesetaraan sejak proyek dimulai. Kalau tidak, keberhasilan proyek tersebut akan terhambat dibelakang hari.Transparansi. Adanya usaha ekowisata di suatu daerah bias memicu perpecahan di antara kelompk-kelompok masyarakat. Apalagi usaha tersebut menyangkut soal pendapatan uang yang bias menciptakan kecemburuan dan kesenjangan sosial. Untuk itu transparansi, khususnya yang berkaitan dengan keuangan, mutalak diterapkan.Pengambilan keputusan. Walaupun untuk kebaikan seluruh masyarakat, tidak seluruh anggota masyarakat bisa berperan aktif secara terus menerus. Mereka yang ditunjuk menjadi panitia pengelola menjadi wakil kelompok peserta tidak langsung (masyarakat umum) dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan ekowisata.Proses Perencanaan. Membangun sebuah usaha ekowisata di sebuah kawasan tak bisa lepas dari pentingnya memperhitungkan masalah partisipasi dan distribusi keuntungan. Hal-hal ini harus sudah ditentukan sejak masa perencanaan.

Pengelolaan ekowisata bisa berjalan lancar jika ada kerjasama antara lembaga-lembaga berikutt ini :
1. Kantor pariwisata dan badan-badan manajemen sumber daya alam, khususnya yang membidangi hutan dan taman nasional.
2. LSM, khususnya yang bergerak di bidang lingkungan hidup, usaha kecil dan pengembangan masyarakat tradisional.
3. Industri pariwisata yang mapan, khususnya operator perjalanan.
4. Universitas dan lembaga penelitian.
5. Kelompok masyarakat
6. Organisasi internasional, lembaga penyandang dana baik pemerintah maupun non-pemerintah, organisasi budayadan lain-lain.

2.2. Taman Nasional
Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 Bab I Pasal 1, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan system zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Kriteria umum bagi suatu taman nasional adalah terdiri dari areal yang utuh danbelum terganggu pada lahan yang relative luas, memiliki nilai alamiah serta mempunyai kepentingan pelestarian dan potensi rekreasi yang tinggi, mudah dicapai oleh pengunjung dan dapat memberi keuntungan pada daerah yang bersangkutan.

Taman nasional biasanya berbeda-beda pada tiap Negara. Penyebab perbedaan tersebut diantaranya adalah keadaan areal, luas areal, kebutuhan dan perkembangan suatu populasi, latar belakang politik, keadaan masyarakat, adapt istiadat dan lain-lain.

IUCN (International Union For Nature and Natural Resources) pada tahun 1992 memberikan karakteristik mengenai taman nasional sebagai berikut:
1. Taman nasional merupakan suatu kawasan alami yang cukup luas terdiri dari satu atau beberapa ekosistem yang tidak banyak dijamah oleh manusia. Dalam kawasan ini dilarang dilakukan kegiatan eksploitasi, berkembang berbagai jenis flora dan fauna dan memiliki nilai-nilai ilmiah, pendidikan serta rekreasi.
2. Kegiatan pengelolaan taman nasional oleh pemerintah yang ditujukan untuk melestarikan potensi sumberdaya alam dan ekosistem pada taman nasional tersebut.
3. Karena memiliki unsur-unsur pendidikan, penelitian ilmiah dan rekreasi alamiah, maka kawasan ini dapat dikunjungi oleh masyarakat dan dapat dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengubah cirri-ciri ekosistem yang ada.

Sasaran yang ingin dicapai dari pembangunan suatu taman nasional adalah:
1. Mempertahankan fungsi kawasan konservasi semaksimal mungkin sesuai dengan daya dukungnya,
2. Menciptakan hubungan antara konservasi dan kepentingan pembangunan melalui budidaya pertanian dan perikanan dari aneka ragam jenis yang ada sebagai sumber plasma nutfah,
3. Meningkatkan pelayanan serta kemudahan bagi pengunjung untuk memanfaatkan taman nasional, dan
4. Membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitar taman nasional dan memacu pembangunan di berbagai sektor lain.

Guna menjaga kelestarian sumberdaya alam dan pada waktu bersamaan juga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, taman nasional ini dibagi menjadi beberapa zona. Menurut Undang-Undang no 5 tahun 1990, zona yang dimungkinkan terdapat dalam Taman Nasional adalah zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lainnya yang dianggap perlu.
1. Zona Inti.
Merupakan zona yang mutlak harus dilindungi karena keunikan hayati dan ekosistemnya.
2. Zona Pemanfaatan
Merupakan suatu daerah dalam kawasan taman nasional yang dijadikan pusat kegiatan rekreasi karena berbagai sumberdaya alternative yang dimilikinya
3. Zona lainnya yang dianggap perlu
Zona lain adalah zona diluar zona inti dan zona pemanfaatn yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi dan sebagainya.
4. Daerah Penyangga
Wilayah yang berada diluar kawasan taman nasional, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah Negara bebas maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan taman nasional.

III. PEMBAHASAN

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merupakan sumberdaya yang memiliki kekayaan dan keunikan serta keindahan bentang alam tersendiri. Hutan yang berada dikawasan Gunung Gede Pangrango merupakan perwakilan ekosistem hutan pegunungan Pulau Jawa, secara umum terbagi ke dalam zona vegetasi yaitu Sub-Montana, Montana dan Sub-Alpine. Hutan Gunung Gede Pangrango juga merupakan tempat hidup berbagai jenis satwa liar baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi, dengan keragaman jenis burung yang dikategorikan tertinggi di Pulau Jawa, Kawasan Gunung Gede Pangrango juga merupakan daerah tangkapan air dan hulu bagi berbagai sungai penting yang mengalir ke wilayah Bogor, Cianjur, Bandung, Sukabumi dan Jakarta dan kawasan ini merupakan sumber air bagi kawasan sekitarnya sampai dengan Jakarta.

Selain sebagai pensuplai air, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ini juga memiliki berbagai sumber daya alam lainnya, diantaranya adalah wisata alam. Karena mempunyai ekosistem alami dengan kekayataan hayati yang tinggi, adanya fungsi pelestarian, serta keindahan alam yang baik, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dijadikan suatu kawasan pelestarian yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan penelitian ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi dan penunjang budi daya.

Kehadiran pengunjung di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ternyata mengakibatkan banyak dampak negative yaitu terancamnya kehidupan Flora, Fauna dan habitat didalam dan sekitar kawasan wisata serta kerusakan berbagai fasilitas. Hal ini mengakibatkan kegiatan wisata di Taman Nasional menjadi Kontra Produktif dengan tujuan konservasi dan menimbulkan pemborosan biaya.

Ancaman terhadap flora dan fauna terjadi akibat polusi air dan polusi tanah yang disebabkan oleh sampah yang dibuang secara sembarangan oleh pengunjung. Bahkan sampah yang terdapat dalam kawasan telah merubah perilaku makan beberapa hewan. Polusi suara juga merupakan faktor penyebab terjadinya perubahan perilaku hewan dan diperkirakan mengganggu proses berbiak berbagai jenis hewan. Perubahan perilaku hewan ini merupakan gambaran riil adanya ancaman terhadap flora dan fauna dalam kawasan Taman Nasional.

Bentuk ancaman lainnya adalah kerusakan fisik berupa terbukanya areal hutan yang menyebabkan terjadinya kerusakan kawasan. Pembukaan hutan ini dapat dilihat dari banyaknya jalur liar dan lokasi perkemahan liar terutama didaerah dekat sungai. Erosi yang cukup parah terjadi khususnya di sepanjang jalur antara air panas dan puncak.
Walaupun data tentang dampak lingkungan kegiatan dan Taman Nasional Gede Pangrango, belum tersusun secara sistematis, namun beberapa kecenderungan umum yang terlihat langsung dilapangan telah memperlihatkan bahwa aktifitas wisata saat ini merupakan ancaman langsung terbesar bagi konservasi di kawasan Taman Nasional Gede Pangrango. Sumber dampak dari aktifitas wisata dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pengunjung sendiri, fasilitas dan tata letak.

1. Dampak lingkungan akibat pengunjung
Sumber dampak lingkungan yang terlihat langsung memang adalah pengunjung. Pengunjunglah yang terlihat secara langsung membuang sampah, atau menimbulkan kerusakan kawasan. Dalam proses pemetaan masalah dibahas hal-hal yang menyebabkan keberadaan pengunjung yang cenderung menimbulkan kerusakan lingkungan, pembahasan kami memperlihatkan dua penyebab besar, yaitu karakteristik pengunjung yang tidak kompatibel dengan tujuan-tujuan konservasi dan jumlah pengunjung yang melebihi kapasitas. Kedua penyebab tersebut kemudian diperparah oleh kelemahan proses penegakan peraturan pengunjung.

2. Dampak lingkungan akibat fasilitas
Pembahasan mengenai penyebab berbagai fasilitas, khususnya masalah kerusakan fasilitas, seringkali terpusat pada perilaku pengunjung. Padahal ternyata fasilitas adalah kontributor kerusakan lingkungan di Taman Nasional Gede Pangrango. Keberadaan fasilitas sebenarnya memang ditujukan untuk menyerap dampak lingkungan pengunjung. Tetapi kesalahan dan penempatan, disain dan pembangunannya justeru menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih parah. Semua masalah ini menunjukan bahwa perancang fasilitas kurang memahami disain yang berwawasan lingkungan dan kajian mengenai dampak lingkungan itu sendiri kurang dilakukan secara serius.

3. Dampak lingkungan akibat tata letak
Site plan merupakan awal dari “lingkaran setan” permasalahan, banyak sekali permasalah di Taman Nasional Gede Pangrango baik yang terkait dengan pengunjung maupun fasilitas dapat di telusuri pangkalnya dari permasalahan site plan. Persoalan yang umum terjadi adalah penempatan fasilitas yang berdekatan dengan daerah peka. Dimana di Taman Nasional Gede Pangrango daerah yang paling peka adalah Sungai. Konsekuensi logis dari itu adalah konsentrai pengunjung, dan demikian pula konsentrasi dampak akan terpusat pada daerah peka tersebut. Permasalahannya menjadi lebih parah karena penempatan daerah yang terlalu dekat kesungai, memberi akses yang terlalu besar dan bahkan mengarahkan distribusi pengunjung kedaerah tersebut, hal ini mengakibatkan pengadaan fasilitas yang semula dijadikan untuk menyerap dampak, malah memperparah dampak lingkungan itu sendiri.

IV. KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dilema antara kepentingan ekonomis dan kepentingan konservasi yang dihadapi pengelola taman nasional telah menyebabkan konsep ekowisata tidak berjalan dengan optimal.
Penerapan yang terburu-buru tanpa analisis lingkungan yang mendalam dapat menyebabkan dampak lingkungan yang sangat besar, dimana pemulihan terhadap dampak ini membutuhkan biaya yang tinggi.
Perencanaan yang matang dan hati-hati mutlak diperlukan dalam penerapan konsep ekowisata. Pertimbangan yang dilakukan tidak hanya untuk kepentingan ekonomis tapi lebih pada pertimbangan ekologis.
Pelibatan masyarakat dan stakeholder lainnya perlu dilakukan untuk mendukung pengelolaan kawasan ekowisata. Pengelola kawasan ekowisata juga perlu mengedepankan profesionalitas, salah satunya melalui peningkatan kualitas dan kuantitas SDM pengelola.
Walaupun demikian, usaha-usaha evaluasi yang dilakukan secara terus menerus oleh para pengelola kawasan ekowisata diharapkan mampu meningkatkan kualitas pengelolaan kawasan tersebut, sehingga di kemudian hari, ekowisata benar-benar menjadi potensi yang menjanjikan tidak hanya bagi kepentingan pariwisata tapi juga bagi kepentingan konservasi itu sendiri.

Johan Iskandar, Manusia Budaya dan Lingkungan ; Ekologi Manusia, Hal 154
Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Hal 114
Op cit, Hal 155
Op cit, Hal 113
Ibid, hal 309-316
Warta Kehati, Edisi Triwulan Oktober-Desember 1998
Laporan Akhir Desain Lansekap TNGP, Dephut 1995 hal I-4 – I-6
Ibid, hal I-1
Siti Nuraini, Karakteristik Permasalahan Wisata Alam di TNGP, Prosiding Lokakarya 2000 hal 110-112

Posted at 07:44 pm by pipitkecil
Make a comment Permalink