28 Mei 2008 19:37
Meretas Identitas Melayu Raya
Yogyakarta, Melayuonline.com- Jika dikelola secara tepat, ranah sejarah dan budaya merupakan sarana yang efektif untuk mengatasi konflik dan perbedaan. Spirit ini tercermin dalam Seminar Internasional "Indonesia-Malaysia Update 2008" pada Cluster “Sejarah dan Budaya Melayu” sesi pertama. Sesi ini menghadirkan tiga pembicara, satu dari Indonesia, dan dua dari Malaysia. Dari Indonesia diwakili oleh Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M., Pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM)/Pimpinan Umum MelayuOnline.com. Sedangkan dari Malaysia diwakili oleh Dr. Ahmad Kamal dan Prof. Dr. S. Kumaran, keduanya adalah staf pengajar dan peneliti kebudayaan Melayu dari Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia.
Seminar ini merupakan bagian dari upaya untuk meretas kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia, dengan cara memperkuat wacana dan kajian tentang sejarah dan budaya yang relevan dengan semangat persamaan dan persaudaraan antar dua bangsa serumpun tersebut.
Bertindak sebagai pembicara pertama, Dr. Ahmad Kamal mencoba menelusuri persamaan antara Indonesia dengan Malaysia melalui telaah atas sejarah kedua bangsa yang sama-sama menggunakan bahasa Melayu. Secara historis, menurut Kamal, antara Indonesia dengan Malaysia sebenarnya tidak memiliki perbedaan yang mencolok, karena sama-sama berasal dari rumpun Melayu. Kalaupun perbedaan-perbedaan itu mengemuka akhir-akhir ini, itu lebih disebabkan oleh faktor politik, yang mulai muncul sejak pemerintah kolonial Inggris menerapkan politik pecah-belah.
Meskipun hubungan Indonesia—Malaysia boleh dikatakan selalu mengalami pasang surut, hal ini tidak lantas melupakan sejarah bahwa antara kedua negara sebenarnya telah menjalin kerjasama yang cukup mesra sejak lama, terutama pada agenda-agenda pengembangan bahasa Melayu. Hal ini bisa dilihat dari partisipasi Malaysia dalam Kongres Bahasa Melayu yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1954. Pada waktu itu, Malaysia menganggap Indonesia adalah saudara tua yang lebih fasih berbahasa Melayu, sehingga sudah sepatutnya jika Malaysia waktu itu belajar dari Indonesia. Kerjasama antar kedua negara tersebut berlangsung hingga sekarang, terutama dalam kegiataan preservasi dan pengembangan bahasa Melayu.
Senada dengan Dr. Kamal, Prof. Dr. S. Kumaran selaku pembicara kedua, juga berpendapat bahwa untuk menciptakan atmosfer persaudaraan antar kedua negara dapat diawali dari aspek bahasa. Prof. Kumaran mengajak bangsa Indonesia untuk bersama-sama mengembangkan bahasa Melayu agar sejajar dengan bahasa-bahasa internasional lainnya. Hal ini dapat terwujud jika kedua negara menempatkan bahasa Melayu bukan hanya sebagai bahasa pergaulan, tetapi juga sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Jika kedua pembicara sebelumnya lebih menekankan aspek kebahasaan sebagai pemersatu identitas kemelayuan, maka pembicara ketiga lebih menekankan pada strategi kebudayaan yang lebih komprehensif. Mahyudin Al Mudra, SH.MM. dalam kertas kerjanya yang bertajuk "Redefinisi Melayu: Upaya Menjembatani Perbedaan Kemelayuan Dua Bangsa Serumpun" menawarkan sebuah paradigma baru—yang kemudian disebut sebagai paradigma holistik. Hal ini didasarkan atas keprihatinannya terhadap paradigma lama yang bercorak reduktif, yang membatasi identitas Melayu hanya berdasarkan pada keterkaitan antara budaya Melayu dengan Islam. Menurut bang MAM, sapaan akrab beliau, paradigma holistik hendak memecah kebuntuan cara pandang lama, untuk kemudian menawarkan cara pandang baru, yang berusaha melihat identitas kemelayuan berdasarkan pada aspek-aspek yang lebih luas, di mana aspek-aspek seperti ras, budaya, agama, negara, hanyalah bagian dari pembentuk identitas Melayu itu sendiri. Dengan demikian, identitas Melayu tidak dapat direduksi hanya berdasarkan pada aspek ras, agama, budaya, dan negara tertentu saja.
Pewacanaan paradigma holistik dalam seminar ini ternyata menarik perhatian para peserta seminar. Oleh Pramono, salah seorang peserta yang juga peneliti kebudayaan Melayu dari Universitas Andalas Padang, paradigma holistik dianggap sebagai sebuah gagasan yang visioner. Artinya, gagasan ini lebih berorientasi pada terwujudnya kegemilangan tamaddun Melayu di masa mendatang. Paradigma holistik yang ditawarkan mencoba melampaui romantisme kebudayaan yang tak peka perkembangan zaman.
Namun, sebuah gagasan visioner hendaknya juga harus ditindaklanjuti dengan agenda-agenda praktis-transfromatif agar gagasan genial ini tidak hanya menjadi spekulasi pengetahun belaka. Untuk itu, sudah sepantutnyalah bagi siapa saja, pihak mana saja, yang merasa sebagai pewaris kebudayaan Melayu dituntut keterlibatannya dalam mengembangkan kebudayaan Melayu demi terwujudnya kegemilangan dan kejayaan kebudayaan Melayu di masa-masa mendatang. Hal ini tentunya didasari atas harapan yang sama, yaitu agar kebudayaan Melayu mampu berdiri sama tinggi dengan kebudayaan-kebudayaan besar dunia lainnya. (AA/brt/01/05-08).
Selasa, 09 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar